Setelah pengumuman tersebut, muncul unggahan di media sosial yang mengkaitkan pemindahan ibu kota ini dengan Beijing, ibu kota Cina. Akun Facebook Mona Liza Abi mengunggah narasi itu beserta peta Benua Asia. Dalam peta itu, dibuat garis vertikal yang menghubungkan letak Beijing dengan Kalimantan Timur.
Agar lebih meyakinkan, akun ini juga menyertakan gambar tangkapan layar artikel dari situs nusantaranews.co yang berjudul Republik Cina di Kalbar, Kisah ‘Negara dalam Negara’.
Akun Mona Liza Abi kemudian memberikan narasi, “Rencana besar Beijing di balik pemindahan ibukota RI ke Kaltim." Dalam unggahan itu, akun Mona Liza Abi juga menulis, "Kalian rela Indonesia di ambil China? Orang yang kalian puja-puja itu cuma kacung Chino."
Unggahan serupa dengan narasi sedikit berbeda juga viral di Twitter. Akun Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnain, @ustadtengkuzul, menuliskan narasi, “Pindah Ibukota sama sekali tidak meningkatkan nilai ekonomi apapun bagi negara dan rakyat Indonesia. Malah secara pertahanan sangat mudah dijangkau China dengan kapal perang, pesawat tempur, bahkan rudal China. Lurus dan Terbuka! Bahaya. Para Ahli intelijen bicarah. Jangan diam saja...!"
Ia pun melengkapi narasinya dengan peta Benua Asia yang disertai dengan tarikan garis vertikal tegak lurus yang menghubungkan Beijing dengan Kalimantan Timur. Hingga kini, unggahan itu telah dibagikan sebanyak 4,4 ribu kali dan disukai hingga 7,6 ribu kali.
Benarkah ada kepentingan Beijing di balik rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur?
PEMERIKSAAN FAKTA
Artikel yang dijadikan sebagai pembenar narasi yang diunggah akun Facebook Mona Liza Abi bisa diakses di situs nusantaranews.co edisi 22 Juli 2017. Artikel tersebut berisi sejarah Republik Lanfang, sebuah perkumpulan kongsi Hakka China di Kalimantan Barat.
Republik Lanfang didirikan pada 1777 oleh seorang pendatang dari Hakka atau Cina Daratan bernama Lo Fang Pak. Pendirian republik itu menyusul terjadinya gelombang besar-besaran imigran dari Cina Daratan pada 1764 untuk menambang emas dan mencari kehidupan di sana.
Sejarah tentang Republik Lanfang ini juga pernah ditulis oleh sejumlah media lain. Tirto, misalnya, menulis bahwa terbentuknya Republik Lanfang bermula dari gelombang imigran Cina yang menerpa Kalimantan Barat pada pertengahan abad ke-18. Mereka didatangkan oleh Kesultanan Mempawah dan Sambas untuk dipekerjakan di tambang-tambang emas dan timah yang banyak terdapat di kawasan tersebut. Nantinya, kaum pendatang ini bersatu dan membentuk republik pertama di Nusantara, Republik Lanfang.
Tirto menulis sinyal kemunduran Republik Lanfang mulai terlihat pada awal 1880 seiring dengan semakin kuatnya pengaruh Belanda di Borneo, termasuk Kalimantan Barat. Presiden Republik Lanfang saat itu terpaksa meneken perjanjian di Batavia. Dengan demikian, Republik Lanfang berada di bawah kendali Belanda.
Rakyat Republik Lanfang yang lolos dari serbuan Belanda beramai-ramai menyelamatkan diri dengan mengungsi ke pulau-pulau seberang. Sebagian orang Cina pelarian dari Republik Lanfang ini kemudian membangun kehidupan baru di suatu wilayah yang nantinya dikenal dengan nama Singapura.
Hal itu juga ditegaskan oleh Josef Widjaja, penulis sejarah Tionghoa, seperti yang dimuat dalam portal berita Republika. Republik Lanfang di Kalimantan Barat tidak benar-benar musnah setelah orang terakhir mereka meninggalkan pulau itu. Gagasannya dibawa masyarakat Hakka yang lari ke Medan, diwariskan ke generasi berikutnya yang menyebar dari Kuala Lumpur sampai Singapura. Salah satu keturunan mereka, Lee Kuan Yew, mendirikan Republik Lanfang kedua bernama Singapura.
Cocoklogi
Walaupun terdapat beberapa artikel mengenai Republik Lanfang yang pernah berdiri di Kalimantan Barat, narasi yang mengkaitkan sejarah tersebut dengan tudingan adanya kepentingan Cina dalam penetapan Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru tidak tepat.
Alasannya, Republik Lanfang berdiri di Kalimantan Barat, bukan di Kalimantan Timur, provinsi yang ditetapkan Jokowi sebagai lokasi ibu kota baru. Selain itu, Republik Lanfang sudah runtuh setelah Kalimantan dikuasai oleh Belanda.
Letak Beijing dan Kalimantan Timur yang terlihat membentuk garis lurus vertikal pun hanya cocoklogi yang tidak relevan dikaitkan dengan adanya kepentingan Beijing.
Menanggapi cuitan Tengku Zulkarnain, Kepala Staf Presiden Moeldoko menjelaskan bahwa, dari sisi keamanan dan pertahanan nasional, lokasi ibu kota baru yang terletak di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kertanegara lebih baik ketimbang Jakarta. Luasnya ibu kota baru ini memudahkan mobilitas pasukan jika terjadi pertempuran.
"Kalau nanti dengan teknologi baru, rudal jelajah itu mau di mana saja (lokasi ibu kota) bisa dilewati. Jadi menurut saya kajian ke arah sana sudah dipikirkan dengan baik," kata dia di kantornya, Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu, 28 Agustus 2019.
Andai pertempuran terus berlanjut, pasukan Indonesia masih diuntungkan dengan keberadaan hutan-hutan di sekeliling kota. "Kita punya keunggulan, tentara kita punya keunggulan, apalagi Kopassus perang hutannya, sangat diakui itu," kata Moeldoko. Untuk menunjang pertahanan, pemerintah berniat membangun pangkalan militer di sana.
KESIMPULAN
Narasi yang menyatakan bahwa ada rencana besar Beijing di balik penetapan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru dengan mendasarkannya pada sejarah Republik Lanfang dan tarikan garis lurus antara kedua wilayah itu adalah keliru. Narasi bahwa Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru lebih mudah diserang oleh Cina juga tidak berdasarkan pada sumber yang relevan.
Editor by Sitka Masaputri
Sumber : https://cekfakta.tempo.co/fakta/382/fakta-atau-hoaks-benarkah-ada-kepentingan-beijing-dalam-penetapan-kalimantan-timur-sebagai-ibu-kota-baru